Allah lagi menempa jiwa saya di detik2 terakhir sebelum lulus. Gimana saya nuntasin apa yang saya udah mulai dengan sebaik2nya, ga cuma lahiriyah tapi juga batiniyah. Fulki bener, kalo mau jadi dokter, yaa berperan beneran sebagai dokter, bukan terus2an main dokter2an. Ada tanggung jawab, peran, keharusan, dan hati nurani yang bergerak disana. Kalau dokternya gak kuat, gimana pasien2 mau kuat? Kalau dokternya kehabisan harap, lalu ikhtiar pasien2 itu mau kemana lagi? Ke mereka yang belum jelas pertanggungjawabannya?
Lelah ini luar biasa tapi ga boleh sedikitpun berpikir untuk menyerah. Mereka menaruh harap. Jika saat ini mereka menghujat habis para dokter, terpikirkah oleh kita bahwa mereka sedang memacu kita untuk belajar lebih banyak? Terpikirkah oleh kita bahwa mereka semua sedang dalam kegelisahan atas gaya hidup mereka semua? Terpikirkah oleh kita bahwa mereka semua sedang dalam fase denial atas perilaku mereka sendiri dan melakukan proyeksi? Jika dokter kehilangan nurani, harap, dan semangat, mau jadi apa dunia ini? selalu ada celah di sudut pandang lain untuk mengatasinya. Jangan pragmatis, tetap genggam idealisme. Panen kita hanya di akhirat. :)
Alasan selalu ada. Tapi ketepatan memilih alasan tidak selamanya ada.