Minggu, Maret 02, 2014

Tuhan itu pilihan?

Alhamdulillah hari ini punya mother-daughter quality time yang seru. Ceritanya tentang pendidikan, agama, dan tauhid.

Bermula dari cerita tentang cara orang2 sekitar kami dalam mendidik anak. Prinsip rumah dan keluarga sebagai madrasah pertama dan utama ini sekarang sudah banyak hilang dari lingkungan sekitar kami. Trend menyekolahkan anak di sekolah non-formal semakin merajalela. Bahkan, menyekolahkan agama pun harus sampai ke sekolah agama TKA/TPA. Belum lagi, trend bahwa lulus dari TPA (mayoritas sd kelas 6), seakan seperti sudah selesai yang namanya belajar agama. Belajar agama, ya cukup dari sekolah saja. Ikut DKM/rohis atau sejenisnya jadi sesuatu yang dianggap tidak gaul bagi sebagian kalangan.

Kalau kita runut lagi yang namanya pelajaran agama di sekolah umum di indonesia, kurikulumnya ini agak aneh. Alur berpikirnya ini gak jelas. Saya ingat, pelajaran tauhid saya dapat di SMA. padahal, tauhid itu landasan dasar agama islam. Apa mungkin karena usia dibawah itu dianggap belum mampu berpikir abstrak untuk menerima ilmu itu? Wallahu'alam. Tapi ini yang membuat kami khawatir tentang keteguhan dan keyakinan muslimin indonesia tentang keimanannya. Jangan sampai dari usia 7 tahun sampai usia 15 tahun mereka wajib sholat, hanya diisi dengan rutinitas tanpa esensi. 7-8 tahun loh itu.
***

Lalu, ibu saya tiba2 bertanya, "bagaimana guru kamu dulu mengajarkan tauhid di sma?". Saya jujur sudah lupa dengan cara beliau mengajarkannya. Apa saja yang disampaikan pun saya ga begitu ingat, tapi ujungnya sama, Laa ilaha illallah. yang saya ingat persis adalah bahwa beliau mengajarkan dengan metode "ceramah" bukan diskusi. 

Ternyata obrolan itu membawa kami kembali ke memori tahun 1993. Saat itu saya sering ikut ibu saya ngajar di sebuah universitas islam di bandung. Ibu saya selalu membiarkan saya duduk di kelas (masih dengan seragam TK), menyaksikan cara beliau mengajar. Sesungguhnya, saya ga ingat isi bahasan2nya, soalnya saya masih sangat kecil waktu itu, jadi ga ngerti.

Saat itu kelas membahas tentang Tauhid. Pertanyaan pertama ibu saya pada mahasiswanya, "seandainya saya seorang atheis, bagaimana cara anda meyakinkan saya bahwa agama yang anda yakini saat ini adalah benar?". Dan saya saat dengar pertanyaan itu saat ini pun jadi deg2an, bingung mau jawab apa.

Diskusi masa itu mengalir panjang menuju suatu pernyataan bahwa setiap manusia butuh Tuhan. Pertanyaan berikutnya dari ibu saya adalah "apa itu Tuhan?". JDANG! Jujur saya ga tau harus jawab apa. Saya jujur bilang pada diri saya bahwa ilmu saya ini dangkal sedangkal2nya. Ibu saya cerita bahwa kalau kita mau melogikakan dan berandai2, sebenernya manusia bisa punya alasan, tapi semua akan berujung pada siapa yang mau kita Tuhan-kan. Karena "Tuhan adalah sesuatu yang dianggap penting hingga mendominasi hidup seseorang".

Kalau mau bilang manusia itu evolusi dari kera, bumi ini tercipta melalui proses alamiah, segala sesuatu punya asal usul, yaa terserah. Itu pilihan manusia. Sesungguhnya, jadi pilihan manusia untuk memilih siapa/apa yang akan mendominasi hidup kita. Mau itu ijazah (gelar), jabatan, tahta, harta, manusia, emosi, nafsu, Allah, atau apapun. Mau itu menganggap bahwa Tuhan itu satu, tiga, sepuluh, atau sebanyak apapun, itu pilihan kita. Tapi agama mana yang benar, Tuhan mana yang benar, itu mutlak islam dan Allah. (Kajian dan penjelasannya panjang kalo yang ini mah)

Kesimpulannya, kalau mau menjadikan Allah satu-satunya Tuhan, ya harus Allah yang mendominasi hidup kita. Harus ikhlas menjalani aturan2 Allah, harus mau melakukan apa yang Allah suka. Sesuka apapun sama hal yang ada di dunia, harus Allah yang jadi utama, pertama, dan segalanya.

Ibu saya selalu ingat moment ini karena gara2 ini juga beliau nambah "anak".
***

Sayangnya, tidak semua keluarga bisa menanamkan fondasi2 islam dengan baik karena orang tua pun banyak bingung bagaimana mengajarkannya pada sang anak. Yang kasian adalah fase2 ketika sang anak harusnya sudah paham kenapa harus sholat 5 waktu, kenapa sholat itu kepada Allah, kenapa harus mengaji agama, kenapa harus hidup dengan agama, tapi ternyata dia belum bisa dipahamkan. Tahu itu belum tentu paham. Ketika agama sudah harus menjadi bagian dari karakter dia, tapi dia belum paham mengapa agama ini penting dan benar. Ketika dia seharusnya sudah bisa mendakwahkan ilmunya kepada keturunan2 mereka, ternyata dia juga ikutan bingung seperti orang tuanya dulu mengajarkan dia. Na'udzubillahi mindzalik.

Ini mungkin sedikit curcol jadinya. Saya ini masih sangat dangkal ilmunya. Saya ga ingin mati gaya depan anak saya kelak kalau dia tiba2 nanya, "kenapa harus islam? Kenapa harus Allah? Bagaimana caranya?", dan lain sebagainya. Saya ingin bisa menjawab dengan baik dan membuat anak saya paham, kan anak itu amanah Allah. Keluarga sebagai sarana dakwah terkecil ini ternyata berasa banget kalo udah mulai melihat ke aplikasinya. Banyak2 istighfar, rim!

Wallahu'alam bisshawab

Popular